+62 857 4752 6576
ponpesnurulfajri.wrgt@gmail.com

MARAH DI JALAN ALLAH DAN KEHORMATAN SYIAR ISLAM

test

Dipublish pada 2025-10-14 14:45:09

Oleh: Fikri Hari Rustiyawan., ST., M.Pd.

Kita tentu sangat menghormati narasi-narasi siapapun yang mengkampanyeukan 'janganlah marah', sebab hal demikian benar adanya dan telah sejalan dengan sabda Nabi Muhammad Shallahu 'alaihi wasallam yang menasihatkan agar tidak mudah marah. Dalam sebuah hadis disebutkan:

لَا تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
“Janganlah engkau marah, niscaya bagimu surga.”
(HR. al-Tabarani dalam al-Mu‘jam al-Kabir no. 6117)


Pesan mulia ini jelas ditujukan untuk mengendalikan amarah pribadi, agar seseorang tidak menjadi hamba nafsunya sendiri. Namun, jika yang sedang dipertaruhkan adalah kehormatan agama, simbol-simbol syiar Islam, dan wibawa syariat, maka diam bukanlah tanda kesabaran, melainkan kelemahan.

Sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam al-Nawawi رحمه الله dalam Syarh Sahih Muslim, menukil akhlak Rasulullah Shallahu 'alaihi wasallam:

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ لَا يَغْضَبُ لِنَفْسِهِ، وَإِذَا ٱنتُهِكَتْ حُرْمَةٌ مِّنْ حُرُمَاتِ اللهِ، لَمْ يَقُمْ أَحَدٌ لِغَضَبِهِ
“Rasulullah Shallahu 'alahi wasallam tidak pernah marah karena urusan pribadinya. Namun apabila kehormatan dari kehormatan-kehormatan Allah dilanggar, maka tidak ada seorang pun yang mampu menahan kemarahannya.”
(HR. al-Bukhari, no. 3560; Muslim, no. 2327)


Inilah amarah yang bernilai ibadah, karena lahir dari ghirah (kecemburuan) terhadap agama Allah, bukan dari dorongan emosi duniawi.

Rasulullah Sahllahu 'alahi wasallam juga telah bersabda:

أَفْضَلُ النَّاسِ مَنْ أَحَبَّ فِي اللهِ وَأَبْغَضَ فِي اللهِ، وَأَعْطَى فِي اللهِ وَمَنَعَ فِي اللهِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang mencintai karena Allah, membenci (marah) karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan karena Allah.”
(HR. Abu Dawud, no. 4681; al-Tirmidzi no. 2521)


Hadis ini mengajarkan keseimbangan hati: cinta dan marah bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi semata-mata karena Allah.

Pondok Pesantren dan Para Kiai: Simbol Syiar dan Kehormatan Islam

Dalam konteks kekinian, pondok pesantren, para kiai, dan asatidz merupakan simbol-simbol syiar Islam yang menjadi benteng akidah, akhlak, dan keilmuan umat. Dari merekalah mata air ilmu mengalir, dari pesantrenlah ruh perjuangan Islam tetap hidup di tengah derasnya arus zaman.

Menjaga kehormatan mereka adalah menjaga kehormatan Islam itu sendiri, sebagaimana disebut dalam sebuah dalil kaidah:

مَنْ أَكْرَمَ عَالِمًا فَقَدْ أَكْرَمَ الدِّينَ
“Barang siapa memuliakan seorang ulama, maka sungguh ia telah memuliakan agama.”
(al-Dailami, Musnad al-Firdaus, 5/483)


Maka, marah karena agama bukan sekadar emosi yang meledak, melainkan reaksi iman yang menolak kehinaan terhadap syiar Islam. Ia adalah bentuk pembelaan terhadap cahaya Ilahi agar tidak dipadamkan oleh hawa nafsu manusia.

Marah karena Allah bukanlah marah yang membakar, melainkan marah yang menyala dengan cahaya kesadaran. Ia lahir dari hati yang mencintai kebenaran dan tidak rela melihat agama dilecehkan.

Sebagaimana sabda Nabi Shallahu 'alahi wasallam:

إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الإِسْلَامِ الْحَيَاءُ
“Setiap agama memiliki akhlak yang khas, dan akhlak Islam adalah rasa malu.”
(HR. Ibn Majah, no. 4181)


Jika malu adalah benteng moral Islam, maka ghirah adalah benteng kehormatannya. Bila keduanya hilang, maka agama hanya tinggal simbol tanpa ruh.

Karena itu, umat yang hidup tanpa ghirah terhadap agamanya adalah umat yang perlahan kehilangan jati diri. Dan umat yang menjaga marwah ulama serta pesantrennya adalah umat yang masih hidup dengan cahaya Allah di dadanya.

Wallahu a'lam bish showab,
Asta'fiikum,
Semoga Bermanfa'at.