+62 857 4752 6576
ponpesnurulfajri.wrgt@gmail.com

Muhammad Bukan Boneka Tuhan: Antara Kehendak Ilahi dan Kesadaran Insani

test

Dipublish pada 2025-11-14 20:31:56, ditulis oleh Rafly Eka Ramdani

Pendahuluan

Ungkapan “Muhammad bukan boneka Tuhan” mengandung pesan teologis mendalam: Nabi Muhammad ﷺ tidak bertindak secara mekanis di bawah kendali Ilahi tanpa kesadaran, melainkan menjalankan misi kerasulan dengan akal, hati, dan tanggung jawab moral sebagai manusia pilihan Allah. Ia bukan “alat tak sadar”, tetapi hamba yang sadar sepenuhnya akan tugasnya sebagai rasul.

1. Nabi Muhammad: Manusia yang Menerima Wahyu, Bukan Sekadar Penyampai Pasif

Allah menegaskan kemanusiaan Nabi dalam firman-Nya:

“Katakanlah: Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa.”
(QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi memiliki dua dimensi:

1. Insaniyah (kemanusiaan) — makan, tidur, berpikir, berstrategi, berduka.

2. Nubuwwah (kenabian) — menerima dan menyampaikan wahyu dengan bimbingan Allah.

Menurut Al-Raghib al-Asfahani dalam Mufradat Alfaz al-Qur’an, makna “bashar” di sini menunjukkan sifat manusiawi yang alami — Nabi tetap tunduk pada hukum sebab-akibat duniawi, meski memiliki kedudukan spiritual tertinggi.

2. Peran Akal dan Ijtihad Nabi dalam Kehidupan

Nabi Muhammad ﷺ tidak selalu menerima petunjuk langsung dari wahyu dalam setiap keputusan. Dalam banyak situasi, beliau melakukan ijtihad — berpikir dan memutuskan berdasarkan akal dan pengalaman.

Contohnya:

Perang Badar: Nabi menerima saran sahabat Hubab bin Mundzir tentang posisi pasukan (HR. Abu Dawud). Ini menunjukkan keterbukaan beliau terhadap musyawarah.

Peristiwa Penyerbukan Kurma: Ketika beliau memberi saran tentang cara bercocok tanam, ternyata hasilnya kurang baik. Nabi bersabda:

> “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
(HR. Muslim no. 2363)

Hadis ini menjadi dasar bahwa dalam urusan duniawi, Nabi memberi ruang bagi rasionalitas manusia.

Menurut Al-Qadhi ‘Iyadh dalam Al-Syifa bi Ta‘rif Huquq al-Musthafa, hal ini menunjukkan keseimbangan antara wahyu dan akal manusia. Nabi tetap menggunakan kebijaksanaan insani, bukan semata perintah ilahi yang mekanis.

3. Kehendak Ilahi dan Kesadaran Manusia dalam Diri Nabi

Dalam konsep teologi Islam, kehendak Allah (iradah Allah) bersifat mutlak, namun dalam kebijaksanaan-Nya, Allah mengizinkan manusia berkehendak dan berikhtiar. Nabi Muhammad ﷺ menjadi contoh sempurna integrasi antara dua kehendak: kehendak Ilahi dan kehendak insani yang selaras.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin (Juz IV, hlm. 243) menjelaskan bahwa ketaatan sejati adalah “kesadaran hati yang memilih tunduk kepada kebenaran, bukan karena paksaan.” Maka Nabi bukan “boneka Tuhan,” karena beliau memilih secara sadar untuk taat dengan penuh cinta dan tanggung jawab spiritual.

4. Makna Etis bagi Umat Islam

Pemahaman bahwa Nabi bukan boneka Tuhan mengandung nilai-nilai moral penting:

1. Ketaatan lahir dari kesadaran, bukan paksaan.
Nabi menunjukkan bahwa iman harus dijalani dengan pemikiran dan keikhlasan, bukan karena ketakutan.

2. Agama menghargai akal.
Umat Islam diajarkan untuk berpikir, berdialog, dan bermusyawarah sebagaimana dicontohkan Nabi.

3. Manusia dapat mencapai derajat spiritual tinggi tanpa kehilangan kemanusiaannya.
Nabi tetap manusia — menangis, mencintai, berstrategi — dan justru karena itulah beliau menjadi teladan universal.


Penutup

Ungkapan “Muhammad bukan boneka Tuhan” tidak dimaksudkan sebagai provokasi, melainkan refleksi teologis bahwa Nabi Muhammad ﷺ menjalankan misi kenabian dengan penuh kesadaran insani dan spiritual. Beliau bukan alat tak berjiwa, melainkan manusia yang memilih dengan sadar untuk menundukkan kehendaknya pada kehendak Ilahi. Inilah makna sejati dari abduhu wa rasuluh — hamba sekaligus utusan.